Jumat, 27 April 2012

Cinta Tak Pernah Terlambat


Rissa duduk termenung di depan pintu kelasnya. Kelas X-6 yang biasanya ramai sudah sepi ditinggalkan oleh para penghuninya yang terburu-buru pulang, gara-gara tugas yang menumpuk untuk keesokan harinya. Rissa telah membawa tugas-tugas itu ke sekolah karena ia dan teman-temannya berjanji untuk mengerjakannya bersama. Tapi, nasib berkata lain. Rissa malah ditinggalkan teman-temannya untuk urusan yang menurut Rissa sangat tidak penting.
“Huh, gimana sih Amie sama Dira?! Katanya mau ngerjain tugas bareng? Eh, malah pacaran. Raini juga lagi! Malah ikut-ikutan mojok! Bete!” gerutu Rissa sambil memukul-mukul dinding yang ada di sebelahnya.

**

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Anak-anak kelas X-6 bersorak gembira. Semua anak merasa senang bisa segera pulang, karena tugas untuk esok hari sangatlah banyak.
Beberapa anak masih sempat bercanda. Tidak lupa ada anak-anak yang segera menjalankan tugas hariannya, yaitu piket kelas.
Kebetulan Rissa harus menjalankan piket hari itu. Ketika Rissa sedang menyapu kelas dan hendak membuang sampah keluar, muncullah Kak Radit. “Hai Sa!” Kak Radit melihat-lihat ke dalam kelas. “Ada Amie nggak?” tanya Kak Radit pada Rissa.
‘Pasti mau pacaran deh! Padahal kan Amie mau ngerjain tugas sama aku hari ini!’ omel Rissa dalam hati.
“Hei Sa! ada nggak?” Kak Radit menjentikkan jarinya di depan mata Rissa.
Rissa tersadar dari lamunannya, “Ada. Tuh lagi ngeberesin tas di meja paling belakang ujung kanan!” ucap Rissa sedikit keras.
“Tolong panggilin dong Sa!” ujar Kak Radit lagi.
Rissa segera membalikkan badannya, “Amie! Ada yang ngapel nih!” teriak Rissa. Kemudian Rissa segera meneruskan kegiatannya lagi.
Tak lama, Amie dan Kak Radit pergi entah kemana. Rissa mulai kesal, meskipun ia tahu kalau Amie nanti balik lagi. Tapi pasti balik ke kelasnya itu sore banget. Rissa biasanya ngomel-ngomel sendiri, makanya ia lebih sering main di ruang seni sekalian latihan ini itu.
Saat Rissa hendak membuang sampah di tempat sampah luar kelas, ada Kak Adit. “Rissa, ada Dira nggak?” Kak Adit melongok ke dalam kelas.
Rissa menghela nafas, “Ada tuh. Lagi main laptop.” Rissa menunjuk ke meja guru. “Mau dipanggilin?” tanya Rissa tanpa disuruh.
Kak Adit sempat bingung melihat ke arah Rissa, “Aku nggak ganggu kan?” Kak Adit agak takut dengan Rissa, karena melihat wajah Rissa yang lagi manyun.
Rissa tidak menjawab, ia langsung membalikkan badannya. “Dira! Ada your darling nih!” teriak Rissa.
“Makasih ya Rissa!” Kak Adit mengucapkannya dengan suara sedikit gemetar.
Rissa hanya mengangguk sekilas, kemudian ia segera masuk ke dalam kelas dan menaruh sapu serta pengkinya ke dalam lemari alat-alat kebersihan.
Rissa makin kesal pada kedua temannya itu. Apalagi Raini teman dekatnya di kelas X-5 juga sudah punya pacar, yaitu Kak Yofie. Kalau salah satu dari ketiga teman Rissa menghilang untuk pacaran, pasti ketiganya jadi pergi juga.

**

Rissa memutuskan untuk mengambil tasnya dan membereskannya sambil duduk di luar kelas untuk menghirup udara segar. Kemudian Rissa memakai jaketnya dan kembali duduk merenung.
“Woi Rissa!” ternyata itu suara Denis salah satu anak cowok teman sekelasnya Rissa.
“Apaan sih Den? Orang lagi bete malah dikagetin!” Rissa manyun lagi.
“Yah, jangan manyun dong! Lagian kamu ngapain disini sendiri? Kayak orang gila nungguin kelas yang nggak ada orangnya!” ledek Denis.
“Biarin atuh! Suka suka aku dong mau ngapain juga, kan itu hak aku!” Rissa menopang dagunya.
“Iya deh iya. Kamu kenapa belum pulang? Kayaknya semua temen-temen sekelas kita pada cepet pulang hari ini gara-gara banyak tugas kan?” tanya Denis meyakinkan.
“Biasa lah. Sebetulnya sekarang aku bawa kok semua tugas buat besok. Tadinya aku mau ngerjain hari ini.” kekesalan Rissa mulai menghilang.
“Oh iya, biasanya kamu sama Amie, Dira terus Raini suka bareng-bareng. Kok tumben nggak sama mereka?” Denis bersandar pada tiang di sebelah Rissa.
“Udah ah, jangan omongin mereka dulu. Aku masih kesel sama mereka!” Rissa balik manyun lagi.
Denis melangkah lebih dekat ke arah Rissa, “Boleh aku duduk di sebelah kamu? Kamu pasti lagi butuh temen  buat ngobrol sekarang?”
Rissa mengangguk pelan, “Iya sok aja. Lumayan deh kalo ada kamu. Aku nggak sendirian nunggu disini.” Rissa sedikit bergeser memberi tempat duduk pada Denis.
“Pasti mereka lagi pacaran deh!” Denis memperhatikan reaksi Rissa. “Makanya Ris, punya pacar dong! Jadi kamu nggak sendiri kayak gini.”
“Kalo kamu ngomong tentang pacar atau pacaran lagi, mendingan kamu nggak usah temenin aku deh!” ucap Rissa agak keras.
“Iya iya. Maaf atuh! Nggak maksud gitu. Aku masih boleh disini kan?” Denis menunjuk tempat ia duduk.
“Iya udah nggak apa-apa. Maaf ya kalo aku rada kasar. Soalnya hari ini tuh bener-bener puncak nya aku kesel sama mereka! Kayaknya kalo mereka udah ketemu sama pacar masing-masing, aku tuh dianggep nggak ada di antara mereka!” jelas Rissa sambil menggerak-gerakkan tangannya.
Denis memperhatikan Rissa berbicara dan tidak berkomentar sedikit pun sampai Rissa berhenti bicara, “Sabar ya! Namanya juga punya pacar, biasanya kayak gitu. Aku yakin mereka masih inget kamu, Cuma keadaan aja yang bikin semuanya jadi kayak gini.”
“Masalahnya bukan gitu Den! Mereka itu kemarin udah janji sama aku, terutama si Amie sama Dira. Kita mau ngerjain tugas bareng buat besok! Kan tugas buat besok banyak banget.” Rissa mengeluarkan segala unek-uneknya.
“Ya udah, kamu mau ngerjain? Kamu ngerjain bareng aku aja yuk! Emang sih aku nggak bawa bukunya, tapi nggak apa-apa. Kan kamu bawa bukunya, aku nulis dulu di kertas selembar. Entar di rumah tinggal aku salin deh! Jadi aku juga nggak perlu ngerjain sendirian! Mau nggak?” tawar Denis.
Rissa tidak berpikir panjang lagi, ia memang sedang tidak ingin mengerjakan tugas sendiri. “Iya deh, aku ngerjain sama kamu aja! Tas kamu dimana?”
“Ada disana. Bentar ya, aku ambil dulu!” Denis beranjak dari tempat duduknya.
“Tunggu, beneran nggak apa-apa? Takutnya kamu ada kegiatan lain gitu?” tanya Rissa lagi.
“Udah, nggak apa-apa kok! Bentar ya.” Denis segera berlari.
Rissa mengeluarkan buku-bukunya. “Untunglah aku jadi ada temen buat ngerjain tugas, sekalian nunggu yang pada pacaran itu.” ucap Rissa.
“Eh, Rissa!” dari kejauhan Denis berteriak.
“Hah? Kenapa Den?” tanya Rissa yang sudah mulai mengerjakan tugas.
“Aku paling nemenin sampe jam setengah lima ya! Soalnya ada futsal hari ini. Ok?” Denis mengacungkan jempolnya.
“Iya deh nggak apa-apa. Yang penting ngerjain tugas meskipun sedikit juga!” jelas Rissa sambil menghela nafas.
Rissa mulai tersenyum lagi, ia sejenak melupakan rasa kesal  pada teman-temannya yang menghilang akibat pacaran setelah pulang sekolah.
Seperti baru beberapa menit yang lalu, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. “Sa, udah dulu ya! Aku futsal dulu. Makasih udah diajarin matem.” ucap Denis sambil tersenyum.
“Ih, kebalik kali. Harusnya aku yang bilang makasih! Soalnya kamu udah nemenin aku ngerjain tugas sambil nunggu temen-temen aku. Makasih ya!” Rissa membereskan buku-bukunya.
“Sama-sama. Aku duluan ya!” Denis segera melangkah pergi menuju lapangan.
Kemudian Rissa pergi ke ruang seni dan mulai latihan menari. “Ah, enakan juga kayak aku. Tugas udah beres. Sekarang malah bisa latihan nari dulu. Nggak kayak mereka!” rasa kesal Rissa masih agak berbekas.
Tapi sekesal apapun Rissa pada Amie, Dira, dan Raini, Rissa tetap menunggu mereka bertiga dan pulang bersama-sama.

**
Keesokan harinya Rissa sangat terburu-buru menuju ke perpustakaan untuk mengembalikan buku, karena perpustakaan hampir tutup dan Rissa tidak mau kena denda. Saat Rissa sedang melepas sepatunya di depan pintu perpustakaan, ada seseorang yang tidak sengaja menabrak Rissa sampai Rissa terjatuh.
“Maaf ya! Nggak sengaja.” tutur anak cowok yang menabrak Rissa.
Rissa kemudian berdiri, “Iya nggak apa-apa kak!" tanpa berbasa-basi lagi, Rissa langsung masuk ke perpustakaan.
Setelah mengembalikan buku ke tempatnya, Rissa melihat-lihat ke rak kaca yang isinya berbagai novel. Ia berjalan terus sampai ia tiba di deretan novel-novel terbaru disitu.
“Rissa, ibu mau keluar sebentar. Titip perpustakaan sebentar ya!” ibu penjaga perpustakaan yang sudah sangat mengenal Rissa menghampiri.
“Iya bu, saya juga sambil milih-milih novel yang mau saya pinjem.” Rissa tersenyum ramah.
“Makasih ya!” ibu penjaga perpustakaan itu berlalu.
Rissa kembali memperhatikan beberapa novel yang berderet rapih di depan matanya itu. Ia tidak memperhatikan bahwa di dalam perpustakaan sudah tidak ada orang lain kecuali dirinya dan anak cowok yang tadi menabrak nya.
Sampai saat Rissa memegang sebuah novel, anak cowok yang tadi juga memegang novel itu. Rissa sangat terkejut, karena tangan anak cowok itu ada diatas tangan Rissa.
“Oh, maaf kak! Saya nggak tahu kalau kakak mau ngambil novel yang itu juga.” Rissa langsung menarik tangannya dari novel itu.
“Iya. Nggak apa-apa. Kamu mau pinjem novel ini duluan? Aku nggak apa-apa kok. Sok aja duluan!” anak cowok yang ternyata kakak kelas Rissa ini menyodorkan bukunya pada Rissa.
Rissa mendorong buku itu ke arah kakak kelas tadi, “Udah kak, kakak aja duluan yang pinjem.”
“Aku dong yang nggak enak. Masa adik kelas ngalah sama kakak kelas?! Udah, kamu pinjem duluan aja. Aku bisa pinjem novel yang lain!” ujar kakak kelas itu.
“Tapi, kalau seseorang udah megang suatu buku berarti dia tuh pengen baca dan pengen tahu isi buku itu!” jelas Rissa meyakinkan.
“Emangnya kamu nggak nyesel kalau aku yang ambil buku ini? Emang sih aku pengen banget baca. Tapi jarang-jarang kan, ada kakak kelas yang mau ngalah?!” tutur kakak kelas itu sambil menyodorkan buku yang dipegangnya.
“Ya udah. Aku nggak mau bikin ribut di perpustakaan meskipun nggak ada orang. Aku pinjem duluan bukunya. Makasih ya kak!” saat Rissa hendak menuju meja tempat menulis buku pinjaman,
“Eh, tunggu! Nama kamu siapa? Kayaknya aku nggak pernah lihat kamu di sekolah sini? Bukan anak baru kan? Atau emang jarang keluar?” tanya kakak kelas itu sedikit meledek.
Rissa menghela nafas dan membalikkan badannya, “Nama saya Rissa Kamerlangga. Kakak boleh panggil saya Rissa. Maaf kalo saya tadi nggak sopan. Kakak sendiri siapa namanya? Kayaknya saya juga belum pernah lihat kakak! Dan satu hal, saya bukan anak baru.”
“Aku juga bukan anak baru. Namaku Angga. Hanya Angga. Aku kelas dua belas IPA dua. Kamu kelas sepuluh ya?” tanya Kak Angga.
“Iya kak, saya kelas sepuluh enam.” Rissa melihat ibu penjaga perpustakaan telah kembali, “Mari kak, saya duluan ya! Nanti saya kembalikan buku ini secepatnya.” Rissa segera keluar dari perpustakaan dan berjalan menuju kelas.
Saat sedang berjalan, ‘Kak Angga itu sebetulnya lumayan ganteng. Tapi kok rada nyebelin ya?!’ pikir Rissa dalam hati.
“Woi Sa! Tong ngalamun wae atuh.” Denis menepuk bahu Rissa dari belakang.
“Ih Denis! Kamu mah bikin kaget aja! Kok belum pulang?” tanya Rissa secara spontan.
“Oh, ngusir nih! Ya udah, aku pulang kalau gitu.” Denis segera membalikkan badannya.
“Yah Denis, masa gitu aja ngambek? Bercanda atuh.” Rissa tertawa melihat tingkah laku Denis.
Denis segera berbalik dan merangkul Rissa dari belakang sampai leher Rissa agak tercekik. Rissa langsung memukul bahu Denis pelan. Dan tak lama terdengar gelak tawa dari dua remaja itu.

**
Hari Sabtu kali ini adalah hari yang paling ditunggu oleh Rissa. Karena ia, Amie, Dira, dan Raini akan jalan-jalan ke toko buku. Rissa seneng banget, soalnya Rissa sudah lama nggak pergi ke toko buku. Selama dalam perjalanan menuju toko buku, Rissa tidak berhenti tersenyum. Amie, Dira, dan Raini sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah Rissa.
Saat sampai di toko buku dan sudah menitipkan tas, “Ayo kita ke atas!” Rissa langsung berjalan cepat menaiki tangga.
“Tunggu bentar Sa! Nyabar dikit dong.” Raini melangkah perlahan.
“Si Rissa kalau udah di toko buku semangat banget. Aku juga mau ikutan ah!” Amie langsung berlari menyusul Rissa.
“Ya udah, aku bareng sama kamu aja deh Rai!” Dira mensejajarkan langkah dengan Raini.
Walaupun pada awalnya mereka berangkat bersama-sama, tapi mengenai selera buku tetep aja beda. Akhirnya mereka mencari buku masing-masing sesuai dengan selera mereka. Kemudian mereka janjian untuk ketemu lagi di tempat penitipan tas.
Rissa pergi ke bagian novel. Ia meneliti setiap buku novel yang ada, ia masih mencari buku kedua dari penulis favoritnya. Rissa jadi asyik sendiri dengan buku-buku novel yang ada di hadapannya, ia tidak memperhatikan sekeliling. Ketika Rissa menemukan buku novel yang dicarinya dan memegangnya, ada tangan yang ikut memegang novel tersebut.
Rissa langsung menarik tangannya dan membungkuk, “Maaf, saya nggak sengaja.” ketika Rissa melihat orangnya, ternyata itu Kak Angga. “Loh, kakak kok ada disini? Maksud saya, kenapa kakak megang buku yang sama lagi kayak saya?”
“Kamu jangan ngomong kata ‘saya’ deh. Kok risih dengernya. Kamu bilangnya ‘aku’ aja. Nggak apa-apa kok.” Kak Angga memperhatikan Rissa yang tertunduk malu.
“Iya kak! Maaf, habis kayaknya jadi nggak sopan.” tangan Rissa memegang rak buku yang ada di sebelahnya.
“Ah, udahlah. Kenapa aku jadi ngebahas itu ya?!” Kak Angga jadi malu sendiri. “Nah, kalo sekarang kita bisa ngambil buku itu masing-masing satu. Nggak perlu rebutan.”
Rissa mengambil buku yang sama dengan yang dipegang Kak Angga, “Kakak suka baca buku ini juga?”
“Iya.” jawab Kak Angga pendek.
“Kakak punya buku pertamanya?” tanya Rissa ingin tahu.
“Punya dong! Yang seri lama juga aku punya! Lengkap lagi. Kamu punya nggak?” Kak Angga jadi bersemangat.
“Aku juga punya! Bukan kakak aja kali yang punya!” ucap Rissa sedikit meledek.
Kak Angga menunduk kembali dan mulai membaca sinopsis ceritanya. “Kamu tahu nggak, di balai kota  Bandung minggu depan ada acara bincang-bincang dan bedah buku-buku novel buatannya. Buku ini juga entar dibahas! Mau ikut nggak? Kamu nggak tahu ya?” jelas Kak Angga.
“Ih, aku pengen ikut!” ujar Rissa bersemangat. “Tapi kan, aku mau dateng sama siapa coba? Nggak ada temen. Jarang yang suka acara kayak gitu!” Rissa kembali bepikir.
“Ikut aja yuk! Gimana kalau kamu nanti bareng sama aku aja? Minggu depan janjian di sekolah dulu, entar aku jemput terus kita berangkat bareng. Mau nggak?” tawar Kak Angga sambil tersenyum.
“Emangnya nggak apa-apa kak?” tanya Rissa meyakinkan.
“Iya. Aku serius! Mau nggak? Kebetulan aku juga belum ada temen buat kesananya. Gimana?” tawar Kak Angga lagi.
“Ya udah deh. Aku ikut. Makasi ya kak dikasih tahu!” jelas Rissa sambil mulai tersenyum.
“Kalau gitu aku minta nomer HP kamu dulu. Nanti kalo ada informasi baru, aku kasih tahu lagi. Ok?” Kak Angga mengeluarkan HP nya.
“Ok.” Rissa mengeluarkan HP nya juga.
Rissa senang sekali hari itu, ia terus saja tersenyum dan melangkah dengan riang kemanapun ia pergi bersama dengan ketiga temannya. Tapi, Rissa agak bete juga sesudahnya. Soalnya Amie, Dira, dan Raini ternyata pulangnya dijemput sama pacar mereka masing-maisng. Jadi, Rissa harus pulang sendiri deh.

**

Rissa menunggu angkutan umum yang lewat dengan gelisah, berkali-kali ia melihat jam tangannya dan sesekali menghentakkan kakinya ke tanah. “Ih, giliran butuh angkot malah nggak ada yang lewat! Gimana sih?”
Saat Rissa sudah mulai panik dan menghentak kakinya lebih keras, datang seseorang yang menaiki motor menghampiri Rissa. Ia tahu persis wajah yang ada di balik helm itu, Denis.
“Sa, ngapain jam segini masih disini? Telat loh!” Denis membuka kaca helmnya.
“Kebetulan Den! Aku butuh tumpangan nih. Boleh nggak? Lagian kamu kenapa malah nanya gitu ke aku? Kamu juga udah telat kali.” tanpa menunggu jawaban Denis, Rissa langsung naik ke motor Denis.
“Eh, belum juga dibilang boleh. Ya udah deh! Pegangan ya!” Denis mulai memacu motornya secepat mungkin ia bisa. Karena Denis juga nggak mau kalau sampai telat ikut upacara terus dijemur sambil hormat ke bendera.
Setelah upacara selesai, Rissa dan Denis kembali berbincang-bincang mengenai kejadian tadi pagi. “Untung banget deh kita nggak telat ikut upacara!” ujar Rissa.
“Kamu harusnya berterima kasih sama aku! Coba kalau nggak ada aku, pasti kamu udah dijemur di lapangan sekarang!” ucap Denis sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Iya deh iya, makasih ya! Tapi bener juga sih kata kamu, aku pasti tadi telat banget kalau nggak ketemu kamu.” jelas Rissa.
“Rissa! Tadi baris paling belakang ya?” Amie dan Dira menghampiri Rissa.
Rissa membalikkan badannya, “Iya. Ih, aku seneng deh! Aku pengen cerita nih, cepetan yuk ke kelas. Nanti aku ceritain di kelas.” Rissa menarik tangan Amie dan Dira.
“Oh, tentang si kakak itu? Gimana tuh waktu hari Sabtu? Kan berarti naik motor, diboncengin, cuma berdua lagi. Kayaknya rame tuh!” ucap Dira menggoda.
“Iya, iya cepet ceritain!” tutur Amie.
“Makanya, ayo cepet ke kelas!” Rissa sempat menengok ke belakang dan melihat Denis. “Denis, makasih ya tadi!” Rissa pun berlalu dengan cepat.
Rissa tidak tahu bahwa sebenarnya Denis berharap Rissa masih mengobrol dengannya. Rissa juga nggak tahu bagaimana cara Denis memandang Rissa ketika teman-teman Rissa berkata ‘kakak itu’. Rissa juga nggak tahu bahwa Denis merasa sakit hati mendengar ‘Gimana tuh waktu hari Sabtu? Kan berarti naik motor, diboncengin, cuma berdua lagi. Kayaknya rame tuh!’.
‘Seandainya kamu tahu Rissa, kalau sebenarnya aku tuh suka sama kamu! Apa yang akan kamu katakan nanti?’ jerit Denis dalam hati.

**

Bel pulang sekolah berbunyi, Denis sedang bersandar di pintu kelas. Anak-anak kelas X-6 masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing di dalam kelas. Ada yang bercanda, main laptop, sampai yang lagi main bola juga ada. Denis memutuskan untuk bergabung dengan anak-anak cowok yang lagi main bola. Ketika sedang bermain, ia melihat Rissa sedang duduk sendirian di luar kelas, sama persis seperti waktu itu. Denis pun berhenti dari kegiatannya dan hendak menghampiri Rissa. Tapi, langkah Denis terhenti ketika ada Kak Angga anak kelas XII IPA 2 menghampiri Rissa sambil membawa sebuah buku yang langsung diberikan kepada Rissa.
Denis sangat senang melihat senyum Rissa, jika senyum itu ditujukan padanya. Tapi sayangnya senyum itu tidak ditujukan padanya, melainkan Kak Angga. Denis yang tadinya berniat untuk mengutarakan sesuatu pada Rissa, langsung mengambil tasnya kemudian keluar dari kelas.
Ketika Denis berjalan keluar kelas, Rissa melihatnya. “Loh, Denis! Kok tumben udah pulang jam segini?” teriak Rissa.
Denis hanya melihat Rissa sekilas, “Iya. aku duluan ya.” ucap Denis agak ketus, hingga membuat dahi Rissa berkerut.
“Tuh anak kenapa lagi sih? Kok jadi galak gitu?” gerutu Rissa yang seperti tidak menyadari kehadiran Kak Angga.
“Hei, teman kamu tadi kenapa? Kayaknya kok jutek banget?” tanya Kak Angga.
“Oh, itu. Biasa lagi ngadat kayaknya! Nggak usah dipikirin kak.” Rissa mengibaskan tangannya.

**
Setelah kejadian pada hari itu, Denis terlihat seperti menghindar dari Rissa. Setiap pulang sekolah sebelum Rissa sempat mengajaknya ngobrol, pasti dia udah pulang duluan. Dan ketika Rissa memiliki kesempatan untuk bertanya pada Denis, Denis hanya akan menjawab seperlunya seperti ‘Oh, gitu ya?’, ‘Maaf, aku nggak tahu’, ‘Iya’, ‘Nggak juga’ dan dengan nada yang agak dingin. Apalagi kalau Rissa lagi ngobrol sama Kak Angga, pasti Denis pergi gitu aja tanpa menjawab pertanyaan Rissa.
Rissa sampai dibuat pusing tujuh keliling gara-gara masalah yang sebenarnya Rissa aja nggak tahu penyebabnya. Karena, Rissa tidak pernah tahu bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Denis adalah cemburu. Selain itu, Denis juga ingin menjauh dari Rissa agar hatinya tidak terluka jika melihat atau mendengar sesuatu yang tidak Denis harapkan.

**

Hari itu, Rissa sama sekali tak menyangka bahwa akan terjadi sesuatu yang membuat dirinya merasakan patah hati. Semua itu dimulai ketika Kak Angga datang ke kelas Rissa,
“Sa, aku mau minta bantuan kamu!” Kak Angga datang membawa sebuah bungkusan kado berwarna biru muda yang ukurannya cukup besar.
Rissa udah mulai kege-eran sendiri, “Bantuan apa kak?” ucap Rissa sambil nyengir sendiri.
“Aku mau nyatain perasaan aku ke si Anggi!” ucap Kak Angga gelagapan.
Rissa benar-benar dibuat terkejut oleh kata-kata itu. Seketika senyuman yang selalu menghiasi hari-hari Rissa, menghilang begitu saja karena tenggelam oleh beberapa kata. “Terus, bantuan apa yang kakak butuhin dari aku?” tanya Rissa dengan lesu.
Dengan penuh semangat Kak Angga menjawab, “Nanti pas aku nyatain perasaan aku ke dia, kamu dateng dari belakang dia sambil bawain kado ini ya. Tadi aku juga udah minta tolong sama si Radit buat ngebawain bunganya. Terus kata Radit, nanti dia ngebawainnya sama pacarnya aja. Itu tuh, temen kamu si Amie!” jelas Kak Angga panjang lebar tanpa memperhatikan sinar wajah Rissa yang sedang sedih.
Kemudian Kak Angga berkata lagi, “Kamu mau kan bantu aku?”
Rissa yang sudah tidak kuat lagi menahan air matanya langsung berlari dari tempat itu dan berkata pada Kak Angga dengan suara yang dipaksakan, “Maaf kak, aku baru inget ada janji penting sama temen. Kakak cari orang lain aja ya! Maaf…”
Kak Angga hanya kebingungan dengan sikap Rissa. Tapi seketika itu, ia segera pergi dan meminta bantuan orang lain. Sungguh Rissa baru tahu bahwa ternyata Kak Angga tidak sebaik yang ia duga. Kak Angga hanya peduli pada urusannya, dan tidak peduli dengan perasaan orang lain kecuali perasaan orang yang ia suka.
Ketika Rissa sedang berlari dan bercucuran air mata, ia menabrak Amie, Dira, dan Raini yang sedang jalan bertiga. Secara spontan, ketiganya langung memeluk Rissa dan menenangkannya.
“Kamu tahu nggak sih Sa? Masih banyak cowok lain di dunia ini yang lebih baik dari Kak Angga!” ucap Amie penuh arti.
“Dan lagi, masa cowok kayak gitu masih mau dipertahanin? Yang jelas, dia itu kan bukan siapa-siapa kamu. Jangan sampe dia tahu kamu nangisin dia, entar dianya kepedean! Udah lupain aja. Kan masih ada kita!” jelas Raini sambil menepuk-nepuk bahu Rissa yang sudah mulai berhenti menangis.
“Menurut aku sih, ada cowok yang tulus suka sama kamu. Tapi dia tahu kalau kamu suka sama Kak Angga, jadi dia mundur perlahan ninggalin kamu. Soalnya dia pengen kamu bahagia!” jelas Dira panjang lebar.
Rissa mengusap air matanya, “Emangnya siapa Ra? Kayaknya nggak ada deh cowok yang kayak gitu di sekitar aku!”
“Sebetulnya susah juga buat bilang, dan ini belum pasti. Soalnya kita bertiga juga cuma menduga-duga aja.” ucap Raini sambil tetap menepuk-nepuk baha Rissa.
“Lagian kamu berarti jahat banget kalo nggak nyadar! Padahal itu tuh nyata banget tahu nggak?!” tutur Raini dengan suara yang keras.
“Kamu pasti tahu Sa! Bahkan mungkin hati nurani kamu yang paling dalam bilang kalau kamu tuh sebenernya suka sama dia.” ujar Dira sambil memegang tangan Rissa dan menaruh tangan Rissa di dada Rissa sendiri.
“Iya Sa! Tapi rasa suka itu ketutup gara-gara kamu terlalu fokus sama si Kak Angga. Kamu pasti tahu!” Amie, Raini, dan Dira memeluk Rissa bersamaan.
Rissa yang semenjak tadi diam tiba-tiba berkata, “Makasih ya, aku beruntung punya temen-temen kayak kalian! Mungkin dugaan kalian itu sama kayak dugaan aku sekarang. Aku ini bodoh banget nggak nyadar dari awal!”

**
Rissa masih sangat lemas setelah kejadian tadi, tapi memang keadaan yang berkata. Ketika hendak pulang, hujan turun. Rissa terpaksa mengeluarkan payung dan memakainya.
Saat sedang berjalan menuju tempat untuk naik angkutan umum Rissa melihat Denis sedang berdiri mematung di pinggir jalan, seperti sedang melamun. Rissa menghampirinya dan segera memayunginya.
“Denis, kamu kenapa hujan-hujanan? Kalau sakit gimana?” Rissa berdiri tepat di depan Denis.
Denis tidak menjawab, Rissa memegang pundak Denis dan mengguncang tubuh Denis. Tiba-tiba Denis mendekatkan mulutnya ke telinga Rissa dan berbisik “Aku sayang kamu.”
Rissa sungguh terkejut dengan kata-kata yang didengarnya itu. Setelah cukup lama bediam diri, akhirnya Rissa berkata, “Maaf ya Denis, aku itu bodoh banget nggak sadar dari waktu itu. Aku baru sadar, selama ini kalau aku lagi sendirian kamu pasti nemenin, pas aku lagi butuh bantuan kamu pasti dateng, dan pas kamu pengen ngejaga perasaan aku, kamu menghindar dari aku walaupun kamu merasa sakit akan hal itu. Temen-temen aku baru aja menyadarkan aku dan hati kecilku bahwa sebenarnya….”
Lama Rissa terdiam, “Aku juga sayang sama kamu.”
Seketika itu, Denis menghela nafasnya. Kemudian ia memeluk Rissa.

**

Dan setelahnya, jika Amie dijemput oleh Kak Radit, Dira dijemput Kak Adit, dan Raini sudah menghilang entah kemana dengan Kak Yofie. Rissa nggak sendirian lagi, karena selalu ada seorang Denis di sebelahnya.


SELESAI










Sonic The Hedgehog - Sonic