Rissa duduk
termenung di depan pintu kelasnya. Kelas X-6 yang biasanya ramai sudah sepi
ditinggalkan oleh para penghuninya yang terburu-buru pulang, gara-gara tugas
yang menumpuk untuk keesokan harinya. Rissa telah membawa tugas-tugas itu ke
sekolah karena ia dan teman-temannya berjanji untuk mengerjakannya bersama.
Tapi, nasib berkata lain. Rissa malah ditinggalkan teman-temannya untuk urusan
yang menurut Rissa sangat tidak penting.
“Huh, gimana sih
Amie sama Dira?! Katanya mau ngerjain tugas bareng? Eh, malah pacaran. Raini
juga lagi! Malah ikut-ikutan mojok! Bete!” gerutu Rissa sambil memukul-mukul
dinding yang ada di sebelahnya.
**
Bel pulang
sekolah berbunyi nyaring. Anak-anak kelas X-6 bersorak gembira. Semua anak
merasa senang bisa segera pulang, karena tugas untuk esok hari sangatlah
banyak.
Beberapa anak
masih sempat bercanda. Tidak lupa ada anak-anak yang segera menjalankan tugas
hariannya, yaitu piket kelas.
Kebetulan Rissa
harus menjalankan piket hari itu. Ketika Rissa sedang menyapu kelas dan hendak
membuang sampah keluar, muncullah Kak Radit. “Hai Sa!” Kak Radit melihat-lihat
ke dalam kelas. “Ada Amie nggak?” tanya Kak Radit pada Rissa.
‘Pasti mau
pacaran deh! Padahal kan Amie mau ngerjain tugas sama aku hari ini!’ omel Rissa
dalam hati.
“Hei Sa! ada
nggak?” Kak Radit menjentikkan jarinya di depan mata Rissa.
Rissa tersadar
dari lamunannya, “Ada. Tuh lagi ngeberesin tas di meja paling belakang ujung
kanan!” ucap Rissa sedikit keras.
“Tolong
panggilin dong Sa!” ujar Kak Radit lagi.
Rissa segera
membalikkan badannya, “Amie! Ada yang ngapel nih!” teriak Rissa. Kemudian Rissa
segera meneruskan kegiatannya lagi.
Tak lama, Amie
dan Kak Radit pergi entah kemana. Rissa mulai kesal, meskipun ia tahu kalau
Amie nanti balik lagi. Tapi pasti balik ke kelasnya itu sore banget. Rissa
biasanya ngomel-ngomel sendiri, makanya ia lebih sering main di ruang seni
sekalian latihan ini itu.
Saat Rissa
hendak membuang sampah di tempat sampah luar kelas, ada Kak Adit. “Rissa, ada
Dira nggak?” Kak Adit melongok ke dalam kelas.
Rissa menghela
nafas, “Ada tuh. Lagi main laptop.” Rissa menunjuk ke meja guru. “Mau
dipanggilin?” tanya Rissa tanpa disuruh.
Kak Adit sempat
bingung melihat ke arah Rissa, “Aku nggak ganggu kan?” Kak Adit agak takut
dengan Rissa, karena melihat wajah Rissa yang lagi manyun.
Rissa tidak
menjawab, ia langsung membalikkan badannya. “Dira! Ada your darling nih!”
teriak Rissa.
“Makasih ya
Rissa!” Kak Adit mengucapkannya dengan suara sedikit gemetar.
Rissa hanya
mengangguk sekilas, kemudian ia segera masuk ke dalam kelas dan menaruh sapu
serta pengkinya ke dalam lemari alat-alat kebersihan.
Rissa makin
kesal pada kedua temannya itu. Apalagi Raini teman dekatnya di kelas X-5 juga
sudah punya pacar, yaitu Kak Yofie. Kalau salah satu dari ketiga teman Rissa
menghilang untuk pacaran, pasti ketiganya jadi pergi juga.
**
Rissa memutuskan
untuk mengambil tasnya dan membereskannya sambil duduk di luar kelas untuk
menghirup udara segar. Kemudian Rissa memakai jaketnya dan kembali duduk
merenung.
“Woi Rissa!”
ternyata itu suara Denis salah satu anak cowok teman sekelasnya Rissa.
“Apaan sih Den?
Orang lagi bete malah dikagetin!” Rissa manyun lagi.
“Yah, jangan
manyun dong! Lagian kamu ngapain disini sendiri? Kayak orang gila nungguin
kelas yang nggak ada orangnya!” ledek Denis.
“Biarin atuh!
Suka suka aku dong mau ngapain juga, kan itu hak aku!” Rissa menopang dagunya.
“Iya deh iya.
Kamu kenapa belum pulang? Kayaknya semua temen-temen sekelas kita pada cepet
pulang hari ini gara-gara banyak tugas kan?” tanya Denis meyakinkan.
“Biasa lah.
Sebetulnya sekarang aku bawa kok semua tugas buat besok. Tadinya aku mau
ngerjain hari ini.” kekesalan Rissa mulai menghilang.
“Oh iya,
biasanya kamu sama Amie, Dira terus Raini suka bareng-bareng. Kok tumben nggak
sama mereka?” Denis bersandar pada tiang di sebelah Rissa.
“Udah ah, jangan
omongin mereka dulu. Aku masih kesel sama mereka!” Rissa balik manyun lagi.
Denis melangkah
lebih dekat ke arah Rissa, “Boleh aku duduk di sebelah kamu? Kamu pasti lagi
butuh temen buat ngobrol sekarang?”
Rissa mengangguk
pelan, “Iya sok aja. Lumayan deh kalo ada kamu. Aku nggak sendirian nunggu
disini.” Rissa sedikit bergeser memberi tempat duduk pada Denis.
“Pasti mereka
lagi pacaran deh!” Denis memperhatikan reaksi Rissa. “Makanya Ris, punya pacar
dong! Jadi kamu nggak sendiri kayak gini.”
“Kalo kamu
ngomong tentang pacar atau pacaran lagi, mendingan kamu nggak usah temenin aku
deh!” ucap Rissa agak keras.
“Iya iya. Maaf
atuh! Nggak maksud gitu. Aku masih boleh disini kan?” Denis menunjuk tempat ia
duduk.
“Iya udah nggak
apa-apa. Maaf ya kalo aku rada kasar. Soalnya hari ini tuh bener-bener puncak
nya aku kesel sama mereka! Kayaknya kalo mereka udah ketemu sama pacar
masing-masing, aku tuh dianggep nggak ada di antara mereka!” jelas Rissa sambil
menggerak-gerakkan tangannya.
Denis
memperhatikan Rissa berbicara dan tidak berkomentar sedikit pun sampai Rissa
berhenti bicara, “Sabar ya! Namanya juga punya pacar, biasanya kayak gitu. Aku
yakin mereka masih inget kamu, Cuma keadaan aja yang bikin semuanya jadi kayak
gini.”
“Masalahnya
bukan gitu Den! Mereka itu kemarin udah janji sama aku, terutama si Amie sama
Dira. Kita mau ngerjain tugas bareng buat besok! Kan tugas buat besok banyak
banget.” Rissa mengeluarkan segala unek-uneknya.
“Ya udah, kamu
mau ngerjain? Kamu ngerjain bareng aku aja yuk! Emang sih aku nggak bawa
bukunya, tapi nggak apa-apa. Kan kamu bawa bukunya, aku nulis dulu di kertas
selembar. Entar di rumah tinggal aku salin deh! Jadi aku juga nggak perlu
ngerjain sendirian! Mau nggak?” tawar Denis.
Rissa tidak
berpikir panjang lagi, ia memang sedang tidak ingin mengerjakan tugas sendiri.
“Iya deh, aku ngerjain sama kamu aja! Tas kamu dimana?”
“Ada disana.
Bentar ya, aku ambil dulu!” Denis beranjak dari tempat duduknya.
“Tunggu, beneran
nggak apa-apa? Takutnya kamu ada kegiatan lain gitu?” tanya Rissa lagi.
“Udah, nggak
apa-apa kok! Bentar ya.” Denis segera berlari.
Rissa mengeluarkan
buku-bukunya. “Untunglah aku jadi ada temen buat ngerjain tugas, sekalian
nunggu yang pada pacaran itu.” ucap Rissa.
“Eh, Rissa!”
dari kejauhan Denis berteriak.
“Hah? Kenapa
Den?” tanya Rissa yang sudah mulai mengerjakan tugas.
“Aku paling
nemenin sampe jam setengah lima ya! Soalnya ada futsal hari ini. Ok?” Denis
mengacungkan jempolnya.
“Iya deh nggak
apa-apa. Yang penting ngerjain tugas meskipun sedikit juga!” jelas Rissa sambil
menghela nafas.
Rissa mulai
tersenyum lagi, ia sejenak melupakan rasa kesal
pada teman-temannya yang menghilang akibat pacaran setelah pulang
sekolah.
Seperti baru
beberapa menit yang lalu, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore.
“Sa, udah dulu ya! Aku futsal dulu. Makasih udah diajarin matem.” ucap Denis
sambil tersenyum.
“Ih, kebalik
kali. Harusnya aku yang bilang makasih! Soalnya kamu udah nemenin aku ngerjain
tugas sambil nunggu temen-temen aku. Makasih ya!” Rissa membereskan
buku-bukunya.
“Sama-sama. Aku
duluan ya!” Denis segera melangkah pergi menuju lapangan.
Kemudian Rissa
pergi ke ruang seni dan mulai latihan menari. “Ah, enakan juga kayak aku. Tugas
udah beres. Sekarang malah bisa latihan nari dulu. Nggak kayak mereka!” rasa
kesal Rissa masih agak berbekas.
Tapi sekesal
apapun Rissa pada Amie, Dira, dan Raini, Rissa tetap menunggu mereka bertiga
dan pulang bersama-sama.
**
Keesokan harinya
Rissa sangat terburu-buru menuju ke perpustakaan untuk mengembalikan buku,
karena perpustakaan hampir tutup dan Rissa tidak mau kena denda. Saat Rissa
sedang melepas sepatunya di depan pintu perpustakaan, ada seseorang yang tidak
sengaja menabrak Rissa sampai Rissa terjatuh.
“Maaf ya! Nggak
sengaja.” tutur anak cowok yang menabrak Rissa.
Rissa kemudian
berdiri, “Iya nggak apa-apa kak!" tanpa berbasa-basi lagi, Rissa langsung
masuk ke perpustakaan.
Setelah
mengembalikan buku ke tempatnya, Rissa melihat-lihat ke rak kaca yang isinya
berbagai novel. Ia berjalan terus sampai ia tiba di deretan novel-novel terbaru
disitu.
“Rissa, ibu mau
keluar sebentar. Titip perpustakaan sebentar ya!” ibu penjaga perpustakaan yang
sudah sangat mengenal Rissa menghampiri.
“Makasih ya!”
ibu penjaga perpustakaan itu berlalu.
Rissa kembali
memperhatikan beberapa novel yang berderet rapih di depan matanya itu. Ia tidak
memperhatikan bahwa di dalam perpustakaan sudah tidak ada orang lain kecuali
dirinya dan anak cowok yang tadi menabrak nya.
Sampai saat
Rissa memegang sebuah novel, anak cowok yang tadi juga memegang novel itu.
Rissa sangat terkejut, karena tangan anak cowok itu ada diatas tangan Rissa.
“Oh, maaf kak! Saya
nggak tahu kalau kakak mau ngambil novel yang itu juga.” Rissa langsung menarik
tangannya dari novel itu.
“Iya. Nggak
apa-apa. Kamu mau pinjem novel ini duluan? Aku nggak apa-apa kok. Sok aja
duluan!” anak cowok yang ternyata kakak kelas Rissa ini menyodorkan bukunya
pada Rissa.
Rissa mendorong
buku itu ke arah kakak kelas tadi, “Udah kak, kakak aja duluan yang pinjem.”
“Aku dong yang
nggak enak. Masa adik kelas ngalah sama kakak kelas?! Udah, kamu pinjem duluan
aja. Aku bisa pinjem novel yang lain!” ujar kakak kelas itu.
“Tapi, kalau
seseorang udah megang suatu buku berarti dia tuh pengen baca dan pengen tahu
isi buku itu!” jelas Rissa meyakinkan.
“Emangnya kamu
nggak nyesel kalau aku yang ambil buku ini? Emang sih aku pengen banget baca.
Tapi jarang-jarang kan, ada kakak kelas yang mau ngalah?!” tutur kakak kelas
itu sambil menyodorkan buku yang dipegangnya.
“Ya udah. Aku
nggak mau bikin ribut di perpustakaan meskipun nggak ada orang. Aku pinjem
duluan bukunya. Makasih ya kak!” saat Rissa hendak menuju meja tempat menulis
buku pinjaman,
“Eh, tunggu!
Nama kamu siapa? Kayaknya aku nggak pernah lihat kamu di sekolah sini? Bukan
anak baru kan? Atau emang jarang keluar?” tanya kakak kelas itu sedikit
meledek.
Rissa menghela
nafas dan membalikkan badannya, “Nama saya Rissa Kamerlangga. Kakak boleh
panggil saya Rissa. Maaf kalo saya tadi nggak sopan. Kakak sendiri siapa
namanya? Kayaknya saya juga belum pernah lihat kakak! Dan satu hal, saya bukan
anak baru.”
“Aku juga bukan
anak baru. Namaku Angga. Hanya Angga. Aku kelas dua belas IPA dua. Kamu kelas
sepuluh ya?” tanya Kak Angga.
“Iya kak, saya
kelas sepuluh enam.” Rissa melihat ibu penjaga perpustakaan telah kembali,
“Mari kak, saya duluan ya! Nanti saya kembalikan buku ini secepatnya.” Rissa
segera keluar dari perpustakaan dan berjalan menuju kelas.
Saat sedang
berjalan, ‘Kak Angga itu sebetulnya lumayan ganteng. Tapi kok rada nyebelin
ya?!’ pikir Rissa dalam hati.
“Woi Sa! Tong
ngalamun wae atuh.” Denis menepuk bahu Rissa dari belakang.
“Ih Denis! Kamu
mah bikin kaget aja! Kok belum pulang?” tanya Rissa secara spontan.
“Oh, ngusir nih!
Ya udah, aku pulang kalau gitu.” Denis segera membalikkan badannya.
“Yah Denis, masa
gitu aja ngambek? Bercanda atuh.” Rissa tertawa melihat tingkah laku Denis.
Denis segera
berbalik dan merangkul Rissa dari belakang sampai leher Rissa agak tercekik.
Rissa langsung memukul bahu Denis pelan. Dan tak lama terdengar gelak tawa dari
dua remaja itu.
**
Hari Sabtu kali
ini adalah hari yang paling ditunggu oleh Rissa. Karena ia, Amie, Dira, dan
Raini akan jalan-jalan ke toko buku. Rissa seneng banget, soalnya Rissa sudah
lama nggak pergi ke toko buku. Selama dalam perjalanan menuju toko buku, Rissa
tidak berhenti tersenyum. Amie, Dira, dan Raini sampai geleng-geleng kepala
melihat tingkah Rissa.
Saat sampai di
toko buku dan sudah menitipkan tas, “Ayo kita ke atas!” Rissa langsung berjalan
cepat menaiki tangga.
“Tunggu bentar
Sa! Nyabar dikit dong.” Raini melangkah perlahan.
“Si Rissa kalau
udah di toko buku semangat banget. Aku juga mau ikutan ah!” Amie langsung
berlari menyusul Rissa.
“Ya udah, aku
bareng sama kamu aja deh Rai!” Dira mensejajarkan langkah dengan Raini.
Walaupun pada
awalnya mereka berangkat bersama-sama, tapi mengenai selera buku tetep aja
beda. Akhirnya mereka mencari buku masing-masing sesuai dengan selera mereka.
Kemudian mereka janjian untuk ketemu lagi di tempat penitipan tas.
Rissa pergi ke
bagian novel. Ia meneliti setiap buku novel yang ada, ia masih mencari buku
kedua dari penulis favoritnya. Rissa jadi asyik sendiri dengan buku-buku novel
yang ada di hadapannya, ia tidak memperhatikan sekeliling. Ketika Rissa
menemukan buku novel yang dicarinya dan memegangnya, ada tangan yang ikut
memegang novel tersebut.
Rissa langsung
menarik tangannya dan membungkuk, “Maaf, saya nggak sengaja.” ketika Rissa
melihat orangnya, ternyata itu Kak Angga. “Loh, kakak kok ada disini? Maksud
saya, kenapa kakak megang buku yang sama lagi kayak saya?”
“Kamu jangan
ngomong kata ‘saya’ deh. Kok risih dengernya. Kamu bilangnya ‘aku’ aja. Nggak
apa-apa kok.” Kak Angga memperhatikan Rissa yang tertunduk malu.
“Iya kak! Maaf,
habis kayaknya jadi nggak sopan.” tangan Rissa memegang rak buku yang ada di
sebelahnya.
“Ah, udahlah.
Kenapa aku jadi ngebahas itu ya?!” Kak Angga jadi malu sendiri. “Nah, kalo
sekarang kita bisa ngambil buku itu masing-masing satu. Nggak perlu rebutan.”
Rissa mengambil
buku yang sama dengan yang dipegang Kak Angga, “Kakak suka baca buku ini juga?”
“Iya.” jawab Kak
Angga pendek.
“Kakak punya
buku pertamanya?” tanya Rissa ingin tahu.
“Punya dong!
Yang seri lama juga aku punya! Lengkap lagi. Kamu punya nggak?” Kak Angga jadi
bersemangat.
“Aku juga punya!
Bukan kakak aja kali yang punya!” ucap Rissa sedikit meledek.
Kak Angga
menunduk kembali dan mulai membaca sinopsis ceritanya. “Kamu tahu nggak, di
balai kota Bandung minggu depan ada
acara bincang-bincang dan bedah buku-buku novel buatannya. Buku ini juga entar
dibahas! Mau ikut nggak? Kamu nggak tahu ya?” jelas Kak Angga.
“Ih, aku pengen
ikut!” ujar Rissa bersemangat. “Tapi kan, aku mau dateng sama siapa coba? Nggak
ada temen. Jarang yang suka acara kayak gitu!” Rissa kembali bepikir.
“Ikut aja yuk!
Gimana kalau kamu nanti bareng sama aku aja? Minggu depan janjian di sekolah
dulu, entar aku jemput terus kita berangkat bareng. Mau nggak?” tawar Kak Angga
sambil tersenyum.
“Emangnya nggak
apa-apa kak?” tanya Rissa meyakinkan.
“Iya. Aku
serius! Mau nggak? Kebetulan aku juga belum ada temen buat kesananya. Gimana?”
tawar Kak Angga lagi.
“Ya udah deh.
Aku ikut. Makasi ya kak dikasih tahu!” jelas Rissa sambil mulai tersenyum.
“Kalau gitu aku
minta nomer HP kamu dulu. Nanti kalo ada informasi baru, aku kasih tahu lagi.
Ok?” Kak Angga mengeluarkan HP nya.
“Ok.” Rissa
mengeluarkan HP nya juga.
Rissa senang
sekali hari itu, ia terus saja tersenyum dan melangkah dengan riang kemanapun
ia pergi bersama dengan ketiga temannya. Tapi, Rissa agak bete juga sesudahnya.
Soalnya Amie, Dira, dan Raini ternyata pulangnya dijemput sama pacar mereka
masing-maisng. Jadi, Rissa harus pulang sendiri deh.
**
Rissa menunggu
angkutan umum yang lewat dengan gelisah, berkali-kali ia melihat jam tangannya
dan sesekali menghentakkan kakinya ke tanah. “Ih, giliran butuh angkot malah
nggak ada yang lewat! Gimana sih?”
Saat Rissa sudah
mulai panik dan menghentak kakinya lebih keras, datang seseorang yang menaiki
motor menghampiri Rissa. Ia tahu persis wajah yang ada di balik helm itu,
Denis.
“Sa, ngapain jam
segini masih disini? Telat loh!” Denis membuka kaca helmnya.
“Kebetulan Den!
Aku butuh tumpangan nih. Boleh nggak? Lagian kamu kenapa malah nanya gitu ke
aku? Kamu juga udah telat kali.” tanpa menunggu jawaban Denis, Rissa langsung
naik ke motor Denis.
“Eh, belum juga
dibilang boleh. Ya udah deh! Pegangan ya!” Denis mulai memacu motornya secepat
mungkin ia bisa. Karena Denis juga nggak mau kalau sampai telat ikut upacara
terus dijemur sambil hormat ke bendera.
Setelah upacara
selesai, Rissa dan Denis kembali berbincang-bincang mengenai kejadian tadi
pagi. “Untung banget deh kita nggak telat ikut upacara!” ujar Rissa.
“Kamu harusnya
berterima kasih sama aku! Coba kalau nggak ada aku, pasti kamu udah dijemur di
lapangan sekarang!” ucap Denis sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Iya deh iya,
makasih ya! Tapi bener juga sih kata kamu, aku pasti tadi telat banget kalau
nggak ketemu kamu.” jelas Rissa.
“Rissa! Tadi
baris paling belakang ya?” Amie dan Dira menghampiri Rissa.
Rissa
membalikkan badannya, “Iya. Ih, aku seneng deh! Aku pengen cerita nih, cepetan
yuk ke kelas. Nanti aku ceritain di kelas.” Rissa menarik tangan Amie dan Dira.
“Oh, tentang si
kakak itu? Gimana tuh waktu hari Sabtu? Kan berarti naik motor, diboncengin,
cuma berdua lagi. Kayaknya rame tuh!” ucap Dira menggoda.
“Iya, iya cepet
ceritain!” tutur Amie.
“Makanya, ayo
cepet ke kelas!” Rissa sempat menengok ke belakang dan melihat Denis. “Denis,
makasih ya tadi!” Rissa pun berlalu dengan cepat.
Rissa tidak tahu
bahwa sebenarnya Denis berharap Rissa masih mengobrol dengannya. Rissa juga
nggak tahu bagaimana cara Denis memandang Rissa ketika teman-teman Rissa
berkata ‘kakak itu’. Rissa juga nggak tahu bahwa Denis merasa sakit hati
mendengar ‘Gimana tuh waktu hari Sabtu? Kan berarti naik motor, diboncengin,
cuma berdua lagi. Kayaknya rame tuh!’.
‘Seandainya kamu
tahu Rissa, kalau sebenarnya aku tuh suka sama kamu! Apa yang akan kamu katakan
nanti?’ jerit Denis dalam hati.
**
Bel pulang
sekolah berbunyi, Denis sedang bersandar di pintu kelas. Anak-anak kelas X-6
masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing di dalam kelas. Ada yang bercanda,
main laptop, sampai yang lagi main bola juga ada. Denis memutuskan untuk
bergabung dengan anak-anak cowok yang lagi main bola. Ketika sedang bermain, ia
melihat Rissa sedang duduk sendirian di luar kelas, sama persis seperti waktu
itu. Denis pun berhenti dari kegiatannya dan hendak menghampiri Rissa. Tapi,
langkah Denis terhenti ketika ada Kak Angga anak kelas XII IPA 2 menghampiri
Rissa sambil membawa sebuah buku yang langsung diberikan kepada Rissa.
Denis sangat
senang melihat senyum Rissa, jika senyum itu ditujukan padanya. Tapi sayangnya
senyum itu tidak ditujukan padanya, melainkan Kak Angga. Denis yang tadinya
berniat untuk mengutarakan sesuatu pada Rissa, langsung mengambil tasnya
kemudian keluar dari kelas.
Ketika Denis
berjalan keluar kelas, Rissa melihatnya. “Loh, Denis! Kok tumben udah pulang
jam segini?” teriak Rissa.
Denis hanya
melihat Rissa sekilas, “Iya. aku duluan ya.” ucap Denis agak ketus, hingga
membuat dahi Rissa berkerut.
“Tuh anak kenapa
lagi sih? Kok jadi galak gitu?” gerutu Rissa yang seperti tidak menyadari
kehadiran Kak Angga.
“Hei, teman kamu
tadi kenapa? Kayaknya kok jutek banget?” tanya Kak Angga.
“Oh, itu. Biasa
lagi ngadat kayaknya! Nggak usah dipikirin kak.” Rissa mengibaskan tangannya.
**
Setelah kejadian
pada hari itu, Denis terlihat seperti menghindar dari Rissa. Setiap pulang
sekolah sebelum Rissa sempat mengajaknya ngobrol, pasti dia udah pulang duluan.
Dan ketika Rissa memiliki kesempatan untuk bertanya pada Denis, Denis hanya
akan menjawab seperlunya seperti ‘Oh, gitu ya?’, ‘Maaf, aku nggak tahu’, ‘Iya’,
‘Nggak juga’ dan dengan nada yang agak dingin. Apalagi kalau Rissa lagi ngobrol
sama Kak Angga, pasti Denis pergi gitu aja tanpa menjawab pertanyaan Rissa.
Rissa sampai
dibuat pusing tujuh keliling gara-gara masalah yang sebenarnya Rissa aja nggak
tahu penyebabnya. Karena, Rissa tidak pernah tahu bahwa sikap yang ditunjukkan
oleh Denis adalah cemburu. Selain itu, Denis juga ingin menjauh dari Rissa agar
hatinya tidak terluka jika melihat atau mendengar sesuatu yang tidak Denis
harapkan.
**
Hari itu, Rissa
sama sekali tak menyangka bahwa akan terjadi sesuatu yang membuat dirinya
merasakan patah hati. Semua itu dimulai ketika Kak Angga datang ke kelas Rissa,
“Sa, aku mau
minta bantuan kamu!” Kak Angga datang membawa sebuah bungkusan kado berwarna
biru muda yang ukurannya cukup besar.
Rissa udah mulai
kege-eran sendiri, “Bantuan apa kak?” ucap Rissa sambil nyengir sendiri.
“Aku mau nyatain
perasaan aku ke si Anggi!” ucap Kak Angga gelagapan.
Rissa
benar-benar dibuat terkejut oleh kata-kata itu. Seketika senyuman yang selalu
menghiasi hari-hari Rissa, menghilang begitu saja karena tenggelam oleh
beberapa kata. “Terus, bantuan apa yang kakak butuhin dari aku?” tanya Rissa
dengan lesu.
Dengan penuh
semangat Kak Angga menjawab, “Nanti pas aku nyatain perasaan aku ke dia, kamu
dateng dari belakang dia sambil bawain kado ini ya. Tadi aku juga udah minta
tolong sama si Radit buat ngebawain bunganya. Terus kata Radit, nanti dia
ngebawainnya sama pacarnya aja. Itu tuh, temen kamu si Amie!” jelas Kak Angga
panjang lebar tanpa memperhatikan sinar wajah Rissa yang sedang sedih.
Kemudian Kak
Angga berkata lagi, “Kamu mau kan bantu aku?”
Rissa yang sudah
tidak kuat lagi menahan air matanya langsung berlari dari tempat itu dan
berkata pada Kak Angga dengan suara yang dipaksakan, “Maaf kak, aku baru inget
ada janji penting sama temen. Kakak cari orang lain aja ya! Maaf…”
Kak Angga hanya
kebingungan dengan sikap Rissa. Tapi seketika itu, ia segera pergi dan meminta
bantuan orang lain. Sungguh Rissa baru tahu bahwa ternyata Kak Angga tidak
sebaik yang ia duga. Kak Angga hanya peduli pada urusannya, dan tidak peduli
dengan perasaan orang lain kecuali perasaan orang yang ia suka.
Ketika Rissa
sedang berlari dan bercucuran air mata, ia menabrak Amie, Dira, dan Raini yang
sedang jalan bertiga. Secara spontan, ketiganya langung memeluk Rissa dan
menenangkannya.
“Kamu tahu nggak
sih Sa? Masih banyak cowok lain di dunia ini yang lebih baik dari Kak Angga!”
ucap Amie penuh arti.
“Dan lagi, masa
cowok kayak gitu masih mau dipertahanin? Yang jelas, dia itu kan bukan
siapa-siapa kamu. Jangan sampe dia tahu kamu nangisin dia, entar dianya kepedean!
Udah lupain aja. Kan masih ada kita!” jelas Raini sambil menepuk-nepuk bahu
Rissa yang sudah mulai berhenti menangis.
“Menurut aku
sih, ada cowok yang tulus suka sama kamu. Tapi dia tahu kalau kamu suka sama
Kak Angga, jadi dia mundur perlahan ninggalin kamu. Soalnya dia pengen kamu
bahagia!” jelas Dira panjang lebar.
Rissa mengusap
air matanya, “Emangnya siapa Ra? Kayaknya nggak ada deh cowok yang kayak gitu
di sekitar aku!”
“Sebetulnya
susah juga buat bilang, dan ini belum pasti. Soalnya kita bertiga juga cuma
menduga-duga aja.” ucap Raini sambil tetap menepuk-nepuk baha Rissa.
“Lagian kamu
berarti jahat banget kalo nggak nyadar! Padahal itu tuh nyata banget tahu
nggak?!” tutur Raini dengan suara yang keras.
“Kamu pasti tahu
Sa! Bahkan mungkin hati nurani kamu yang paling dalam bilang kalau kamu tuh
sebenernya suka sama dia.” ujar Dira sambil memegang tangan Rissa dan menaruh
tangan Rissa di dada Rissa sendiri.
“Iya Sa! Tapi
rasa suka itu ketutup gara-gara kamu terlalu fokus sama si Kak Angga. Kamu
pasti tahu!” Amie, Raini, dan Dira memeluk Rissa bersamaan.
Rissa yang
semenjak tadi diam tiba-tiba berkata, “Makasih ya, aku beruntung punya
temen-temen kayak kalian! Mungkin dugaan kalian itu sama kayak dugaan aku
sekarang. Aku ini bodoh banget nggak nyadar dari awal!”
**
Rissa masih
sangat lemas setelah kejadian tadi, tapi memang keadaan yang berkata. Ketika
hendak pulang, hujan turun. Rissa terpaksa mengeluarkan payung dan memakainya.
Saat
sedang berjalan menuju tempat untuk naik angkutan umum Rissa melihat Denis
sedang berdiri mematung di pinggir jalan, seperti sedang melamun. Rissa
menghampirinya dan segera memayunginya.
“Denis, kamu
kenapa hujan-hujanan? Kalau sakit gimana?” Rissa berdiri tepat di depan Denis.
Denis tidak
menjawab, Rissa memegang pundak Denis dan mengguncang tubuh Denis. Tiba-tiba
Denis mendekatkan mulutnya ke telinga Rissa dan berbisik “Aku sayang kamu.”
Rissa sungguh
terkejut dengan kata-kata yang didengarnya itu. Setelah cukup lama bediam diri,
akhirnya Rissa berkata, “Maaf ya Denis, aku itu bodoh banget nggak sadar dari
waktu itu. Aku baru sadar, selama ini kalau aku lagi sendirian kamu pasti
nemenin, pas aku lagi butuh bantuan kamu pasti dateng, dan pas kamu pengen
ngejaga perasaan aku, kamu menghindar dari aku walaupun kamu merasa sakit akan
hal itu. Temen-temen aku baru aja menyadarkan aku dan hati kecilku bahwa
sebenarnya….”
Lama Rissa terdiam,
“Aku juga sayang sama kamu.”
Seketika itu,
Denis menghela nafasnya. Kemudian ia memeluk Rissa.
**
Dan setelahnya,
jika Amie dijemput oleh Kak Radit, Dira dijemput Kak Adit, dan Raini sudah
menghilang entah kemana dengan Kak Yofie. Rissa nggak sendirian lagi, karena
selalu ada seorang Denis di sebelahnya.
SELESAI