kehidupan yang kita jalani adalah sebuah cerita yang tak akan pernah habis, dan tak lekang oleh waktu
Selasa, 31 Januari 2012
Cerpen "Gitar Kenangan" adalah cerpen pertama yang aku masukin di blog aku,
Semoga suka ya.....
Nanti juga aku bakal masukin cerpen-cerpen lain.
Jangan lupa komentari ya, jadi aku bisa tahu kelemahan dalam cerita yang aku buat.
Makasi :)
Aku sedang berada di studio musik tempat aku biasa
berlatih band dengan teman-temanku. Tiba-tiba aku teringat akan kotak yang
berada di sudut ruangan. Di dalam kotak itu ada gitar kenangan ku.
Aku sedih jika melihat kembali gitar yang sudah
tidak berbentuk itu. Tapi, saat memegang kembali serpihan-serpihan, gagang kayu
dan senar-senar gitar yang sudah putus itu, aku bisa mengingat suatu kisah
mengenai gitar yang sudah tak bernyawa ini.
Sungguh, bagiku kejadian ini begitu menyentuh hati.
Aku pasti mengalirkan air mata jika teringat akan kisah ini. Karena bagiku,
perjalanan terakhir dari gitarku ini tidak sia-sia.
**
Hari itu, ada pelajaran seni musik di kelasku. Kami
semua akan menjalani tes bakat untuk pelajaran saat itu. Tes bakat hanya
dilihat oleh guru seni musik, teman sekelas pun tidak boleh melihat. Tentu saja
setiap anak memiliki bakat yang berbeda. Ada yang bisa alat musik tradisional,
drum, keyboard, bass dan salah satunya adalah gitar. Aku merasa hanya memiliki
bakat di bidang bermain gitar saja, maka aku memutuskan untuk bermain gitar
pada tes bakat saat itu.
Setelah menjalani tes bakat, guru seni musik kami
ingin memperlihatkan beberapa bakat anak di kelas kami, yaitu kelas XII IPA 6,
yang menurutnya bagus dan patut dihargai.
Aku mengira, hanya Dika dan Sinta yang akan maju ke
depan untuk memperlihatkan bakat mereka. Ternyata aku juga kebagian untuk
tampil di depan. Awalnya aku bingung akan membawakan lagu apa, “Maaf pak, saya
bingung mau membawakan lagu apa!” ucapku berterus terang.
“Bawakan saja lagu yang tadi!” tutur pak Indra, guru
seni musik kami.
Aku hanya sempat mengangguk sekilas pada pak Indra.
Aku langsung memainkan lagu tadi dengan berhati-hati, kalau sampai salah bisa
malu banget sama teman-teman.
“Terima kasih!” setelah lagu selesai aku memberi
hormat pada teman-teman dan pak Indra.
Aku tidak menyangka, teman-teman sekelasku begitu
antusias mendengarkan lagu yang aku bawakan tadi. Mereka juga bertepuk tangan
dan berkata, “Lagi, lagi, lagi!!” aku sangat senang di hari itu.
**
Semenjak tes bakat itu, aku menjadi teman dekat
dengan Dika. Dika sangat mahir bermain drum, dia juga bisa bermain gitar. Hanya
saja, ia lebih mendalami bermain drum daripada gitar. Karena itulah, Dika
memintaku untuk mengajarinya bermain gitar sampai mahir.
“Kiki, aku kagum pada permainan gitarmu! Selain itu,
aku juga kagum pada gitarmu!” Dika mendekatiku saat aku sedang asyik memainkan
gitar.
“Hmm? Memangnya kenapa?” aku menaruh gitarku, dan
mengalihkan pandangan pada Dika.
“Pertama, aku suka bentuk gitarmu dan juga warna
nya. Kenapa warna nya bisa berbagai rupa seperti itu? Kamu pesan ya?” Dika
memperhatikan gitarku.
“Bukan, ini adalah gitar pemberian teman baikku di
SMP dulu! Sepertinya dia memesankan desain dan warna yang unik untuk gitar ini!
Makanya gitar ini begitu berharga untukku.” aku teringat kembali saat teman
baikku memberikan gitar ini padaku.
**
“Kiki, tunggu! Kamu udah mau pulang?” tanya Alex
padaku.
“Iya! Udah sore nih, aku mau pulang!” ucapku pada
Alex. “Memangnya kenapa?”
“Jangan pulang dulu ya! Sini deh ikut aku!” Alex
menggandeng tanganku. Setelah ada di dekat kelasku, “Kiki, tutup deh mata
kamu!” aku sempat takut untuk mengikuti intruksi dari Alex.
“Kamu mau ngapain?” aku mundur selangkah dari Alex.
“Kau percaya padaku kan?” tanya Alex meyakinkan. Aku
pun mengangguk, dan perlahan mataku menutup. “Jangan lepas genggaman tanganku
ya!”
Aku tetap memegang tangan Alex erat. “Sebetulnya
kita mau kemana sih?” Alex tidak menjawab pertanyaanku. “Alex?” dan saat aku
mulai ragu pada Alex,
“Bukalah matamu!” ucap Alex pelan.
“Surprise!!” ternyata itu adalah suara teman-teman
sekelasku.
“Wah, kalian baik sekali padaku!” aku senang sekali
memiliki teman-teman seperti mereka. “Terima kasih ya!”
Saat aku sedang bercanda dengan teman-teman, Alex
datang membawa bungkusan besar. “Selamat ulang tahun Kiki Radhita Fitri!” Alex
memberikan bungkusan itu kepadaku.
“Apa ini?” aku menerima bungkusan besar itu. “Terima
kasih ya!” ucapku pada Alex.
“Ini kita patungan, jadi aku nggak beli sendiri!
Berterimakasih lah pada teman-teman juga!” ucap Alex.
Aku tersenyum pada teman-temanku, “Terima kasih ya!
Kalian benar-benar baik! Aku sangat terharu!” aku mulai membuka bungkusan besar
itu. Aku penasaran apa isinya, karena bungkusannya sangat besar.
“Bagaimana kalau kita bantu Kiki untuk membukanya?”
ucap Wahab salah satu teman sekelasku. “Boleh nggak?” tanya Wahab padaku.
“Tentu saja!”
“Ayo!” teman-teman membantuku membuka kado itu. Aku
begitu terkejut saat mengetahui bahwa isi kadonya adalah gitar. Dan aku yakin,
gitar itu pasti mahal. Karena desainnya lebih unik daripada gitar biasanya,
warna nya juga seperti pelangi. Dari situ aku menyimpulkan bahwa, teman-teman
pasti memesan gitar itu jauh-jauh sebelum hari ulang tahunku.
“Kenapa? Kamu nggak suka gitar ini ya?” teman-teman
melihat aku yang sejak tadi terdiam memperhatikan gitar pemberian mereka.
“Oh, aku suka banget! Aku kaget, kaget banget
malah!” aku mengerjapkan mata, “Kalian baik banget! Makasih ya!”
“Aku harap, kamu bisa memainkan satu lagu indah
untuk kami semua saat perpisahan nanti!” ucap Alex di sebelahku.
“Tentu, aku janji. Aku akan membuat satu lagu untuk
perpisahan nanti! Dan lagu itu khusus kupersembahkan untuk kalian semua!
Teman-teman terbaikku.”
**
“Jadi, gitar ini pemberian teman-temanmu? Wah,
mereka baik sekali ya! Alangkah beruntungnya dirimu, memiliki teman-teman
seperti mereka!” Dika memegang gitarku dan mengangkatnya. “Bolehkah aku
memainkannya?”
“Tentu saja! Tidak ada yang tidak boleh.” ucapku.
“Emm, tunggu. Berarti kamu benar-benar membuat lagu
itu?” Dika kembali bertanya.
“Iya! Karena aku sudah berjanji pada mereka.
Memangnya kenapa? Kamu tidak percaya ya?” tanyaku.
“Percaya kok! Bisa kamu mainkan lagu itu?” Dika
menyerahkan gitar itu.
“Boleh!”
**
Setelah itu, aku sering sekali berduet dengan Dika
juga April, yaitu temanku yang pandai bernyanyi. Setelah sekian lama, aku
semakin menyayangi gitarku. Gitarku itu sudah aku bawa ke berbagai tempat, dan
acara.
Suatu hari…
“Kiki, pentas seni nanti, mau nggak kamu mewakilkan
kelas sama aku, dan April tentunya! Mau nggak?” Dika menghampiriku, saat aku
sedang memetik senar-senar gitarku.
“Emm? Apa? Maaf aku nggak denger! Aku lagi
memikirkan sesuatu nih.” ucapku menyesal.
“Mau nggak kamu, aku sama April nanti tampil di
pentas seni untuk mewakili kelas XII IPA 6?” Dika mengulangi pertanyaannya.
“Oh, boleh saja! Kita kebagian tampil keberapa?” ucap
ku sambil berpikir.
“Ke delapan!” Dika memperhatikan ku, “Ada masalah
apa sih? Itu juga kalau aku boleh tahu!” Dika langsung duduk di sebelahku.
“Emm, sebetulnya kelas kita kan mau ada acara perpisahan
tuh! Temen-temen pengen ada perpisahan kelas sendiri, bukan hanya pas
perpisahan sama sekolah aja! Cuma pada belum dapet dana.” aku menjelaskan pada
Dika panjang lebar.
“Terus, kamu maunya kayak gimana?” Dika dengan
seksama mendengarkan ku berbicara.
“Gimana kalau kelas kita jualan makanan dan kita
turun ke jalan untuk ngamen?” usulku pada Dika.
“Ngamen? Siapa aja?” tanya Dika keheranan.
“Iya ngamen! Tentu saja anak-anak kelas kita yang
mau!” ucapku bersemangat.
“Boleh juga sih! Mau kapan?” Dika mengangguk tanda
mengerti.
Aku pun tersenyum, “Besok aja pulang sekolah, jangan
lupa bawa baju ganti!”
“Sip lah! Oh iya, ayo kita latihan dulu sebentar
sebelum tampil!” Dika berlari keluar kelas. “Aku mau manggil April dulu! Tunggu
disini!”
Aku pun mengacungkan jempol pada Dika.
Siang harinya, anak-anak kelas XII IPA 6 berkumpul
untuk membicarakan penggalangan dana perpisahan itu.
“Apakah ada yang memiliki ide bagaimana caranya kita
mendapatkan dana , untuk acara perpisahan ini?” tanya Khrisna, ketua kelas XII
IPA 6.
“Saya!” Dika mengacungkan tangannya. “Tadi saya,
Kiki dan April sudah membicarakan hal ini. Kami punya ide, bagaimana kalau
beberapa orang menjual makanan ringan di sekolah? Kita tawarkan ke kelas-kelas?
Terus, beberapa orang turun ke jalan untuk ngamen?”
“Menjual makanan sih oke. Tapi kalau ngamen di
jalan, apa tidak berbahaya? Apalagi kalau yang ngamennya itu satu cowok sama
dua cewek?” tanya Khrisna.
Aku pun berdiri, “Sebetulnya, kita maunya ada yang
ikut ngamen sama kita bertiga! Jadi, nggak hanya bertiga banget! Gimana? Anak
cowok ada yang minat? Atau mungkin cewek?” aku mulai menawarkan pada
teman-teman.
“Baiklah, aku akan ikut dengan kalian! Masa, kalian
mau berjuang tanpa ketua kelas sih?” Khrisna mendekat ke tempat aku, Dika dan
April berdiri.
“Ya sudah, aku akan sumbangkan suaraku ini! Gimana?
Aku diterima gak?” Dino yang sejak tadi diam, akhirnya berdiri. Dia adalah anak
cowok yang suaranya paling bagus di kelasku.
“Makasih Dino! Apa masih ada yang berminat? Atau
lima orang cukup, lalu yang lain bisa mengurus penjualan makanan dan
lain-lainnya?” aku kembali bertanya pada teman-teman sekelasku.
“Aku setuju! Sisanya lebih baik mengurus pekerjaan
yang lain! Bagaimana dengan kalian?” ucap Khrisna bersemangat.
“Baiklah, aku mewakili semuanya. Kami setuju asalkan
kalian berhati-hati.” tutur Risma, wakil ketua kelas.
“Oke! Kita sepakat!”
Setelah anak-anak kelas XII IPA 6 bubar, kami
berlima pun berkumpul kembali.
“Oh iya, kapan kita mau ngamen?” tanya Khrisna
padaku.
“Gimana kalau besok? Kalian semua bisa nggak?”
usulku pada teman-teman.
“Aku sih bisa! Nggak tahu yang lainnya.” Dika duduk
di sebelahku.
“Dino, kamu bisa nggak besok?” aku segera bertanya
pada Dino, karena sejak diskusi selesai dia diam saja.
“Emm? Oh, bisa bisa! Dino kapan pun selalu siap!”
Dino sepertinya sempat terkejut.
“Sip!”
**
Esok harinya setelah bel tanda pelajaran usai
berbunyi, aku, Dika, April, Dino dan Khrisna segera mengganti baju seragam
dengan baju bebas.
Saat aku dan kawan-kawan kembali ke kelas untuk
mengambil tas, “Hei, kalian sudah mau berangkat ya?” tanya Risma padaku.
“Iya, doakan kita mendapat banyak hari ini! Jadi
kita nggak kurang dana.” aku segera mengambil tasku, begitu juga Dika, April,
Dino dan Khrisna.
“Kalian hati-hati ya?! Kami semua selalu mendoakan
kalian. Semoga hari ini berjalan lancar!” ucap Risma pada kami semua.
“Yuk ah, kami berlima pergi ya!” ucap Khrisna pada
teman-teman sekelas.
“Hati-hati ya!”
**
Aku bersama keempat temanku memulai aksi kami di
lampu merah yang padat kendaraan. Aku membawa gitar kesayanganku seperti
biasanya, Dika membawa galon air mineral untuk snare, April dan Dino menyiapkan
suara mereka, sementara Khrisna membawa gitar sepertiku.
Kami selalu bekerja sama setiap menghampiri mobil
yang ada, “Siang bu…” Dino mulai mengeluarkan suara emasnya, diikuti oleh April
dan kami mulai mengiringi nyanyian mereka dengan musik.
Kami juga sempat bertemu dengan teman satu sekolah
kami di salah satu angkot yang kami singgahi, dia baru saja pulang dari
sekolah.
“Loh? Dika? Ngamen?” tanya salah seorang teman
seangkatan kami, Fifi.
“He he… Iya!” Dika segera mengajak kami pergi dari
angkot itu. Sepertinya Dika nggak mau kalau orang-orang yang ada di angkot
sampai tahu kami berlima sekolah dimana. Soalnya Fifi masih pakai seragam.
Dika memang
terkenal ganteng di sekolah, tidak heran sejak tadi banyak remaja cewek yang
diam-diam ngelirik Dika.
Matahari semakin menyengat, kami mulai kepanasan dan
berkeringat. Kami pun berhenti sejenak untuk melepas rasa lelah di sebuah
warung. Kami membeli minum dingin.
“Aduh, aku sudah lelah sekali! Perutku sakit!” April
memegangi perutnya.
“Kamu nggak apa-apa? Mendingan kamu pulang aja
daripada sakitnya tambah parah!” aku menuntun April untuk berdiri.
“Tapi, kalian gimana?” tanya April cemas.
“Tenang, kami masih kuat kok! Lagipula kami kan
berempat, terima kasih ya kamu mau membantu kami untuk mencari dana ini!”
Khrisna menenangkan April.
“Baiklah, aku pulang duluan ya. Maaf banget!” April
melangkah pulang sambil tertatih-tatih menahan sakit perutnya.
“Hati-hati…” ucap kami berempat.
Hari semakin gelap, “Kayaknya uangnya masih kurang
deh!” ucap Dino mulai putus asa karena suaranya mulai habis.
“Ayo kita pindah ke daerah yang banyak retoran sama
kafe nya!” usulku pada teman-teman.
Kami pun berjalan menuju daerah itu. Kami memasuki
beberapa restoran dan kafe, ternyata uangnya lebih cepat terkumpul. Karena
biasanya orang-orang yang ada di kafe atau restoran itu, mau membayar lebih
jika lagu yang diminta oleh mereka kami mainkan.
Kami terlalu asyik dengan kesibukan kami, hingga
kami tidak memperhatikan. Bahwa sejak tadi ada sekelompok preman yang mengikuti
kami. Mereka memperhatikan kami dari jauh.
Saat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, kami
memutuskan untuk beristirahat dulu sebelum pulang ke rumah di emperan toko yang
sudah tutup. Dan saat menghitung uang itulah, sesuatu yang tidak diinginkan
terjadi.
**
“Heh, bocah-bocah ingusan!” ucap seorang pria dewasa
yang menggunakan ikat kepala berwarna merah dan bertubuh paling pendek. “Mau
apa kalian di daerah kami?”
Kami berempat segera berdiri. Dika, Dino dan Khrisna
langsung berdiri di depanku. Aku segera menyambar gitar yang tadi aku taruh di
dekat kakiku, dan memakai tudung jaket milikku juga merapatkan jaket.
“Kalian mau apa?” tanya Dika yang berdiri paling
depan. Terdengar suaranya sukup bergetar karena takut.
Aku sangat takut, aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan. Tiba-tiba tangan Dino menjulur ke belakang dan menyerahkan ponsel
miliknya, saat itu yang terpikir olehku hanyalah menghubungi siapapun yang
paling terakhir Dino hubungi. Aku segera menekan tombolnya dengan gemetar, aku
pun sedikit menunduk untuk menempelkan ponsel tersebut ke telinga.
“Kalian anak-anak nggak boleh nyari duit disini! Ini
nih, daerah kita! Lahan kerja kita! Anak-anak mendingan pulang aja ke rumah,
mimpi indah sambil minum susu! Ha ha…” para preman itu tertawa. Mereka
berjumlah sekitar tujuh orang.
“Kita tuh, udah dewasa! Umur kita udah tujuh belas
tahun. Kita udah berhak cari kerja!” ucap Dika tegas dan keras.
“Hah? Tujuh belas tahun? Ha ha…” mereka kembali
tertawa. “Berarti kalian-kalian ini mesti minta ijin sama kita buat nyari duit
disini! Tahu nggak?”
“Ngapain minta ijin sama kalian? Emangnya daerah ini
kalian yang punya?” Dika mulai marah pada para preman itu.
“Oh, berani ngelawan? Sini tuh duit!” mereka
berusaha merebut kantong uang dari Dika.
Keadaan mulai kacau, saat telepon akhirnya ada yang
mengangkat, aku mendengar suara April. Aku sempat lega, tapi tiba-tiba aku
ditarik ke belakang dan langsung tersungkur ke tanah. Aku melihat Khrisna
berusaha memukul para preman itu, sementara Dino dan Dika mulai dipukuli oleh
para preman. Ponsel yang sejak tadi ada di tanganku terlepas begitu saja, air
mataku mulai mengalir. Aku tidak bisa berbuat apa pun. Rambutku dijambak oleh
salah satu preman yang menggunakan kalung rantai, sehingga aku tidak bisa
bergerak.
“Halo? Halo?” April yang sudah mengangkat telepon
kebingungan, karena mendengar teriakanku.
“April, tolong kami!” aku berteriak sekeras mungkin.
“Kiki?” April segera menelepon polisi dan memberi
intruksi pada para polisi untuk mencari empat remaja itu.
Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk melepaskan
tangan preman itu dari rambutku. Setelah aku berhasil menjauh, aku segera
mengambil gitarku yang tadi terjatuh. Aku memukul beberapa orang preman dengan
gitarku, aku tidak peduli apa yang akan terjadi pada gitarku itu. Yang jelas
aku harus menghajar preman-preman itu agar mereka tidak mengganggu kami lagi.
Saat itulah terjadi sesuatu yang tidak pernah aku
bayangkan sebelumnya, satu orang preman yang tersisa mangeluarkan golok dan
menusuk perut Dika. “Ah…”
Aku pun berlari
ke arahnya dan memukul preman itu sekuat tenagaku, sampai gitar ku hancur
berkeping-keping. “Jangan ganggu temanku!” lalu preman itu langsung tersungkur
ke tanah dan tidak berkutik lagi
“Dika!” aku menangis di sebelah Dika yang berlumuran
darah. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Khrisna berusaha menenangkan diriku
meskipun ia merasakan sakit di seluruh tubuhnya, sementara Dino mengalami memar
di wajahnya dan rasa sakit di seluruh tubuh akibat ditendang dan dipukuli.
Tiba-tiba datanglah dua mobil polisi yang langsung
meringkus para preman itu dan juga April, ternyata April telah menghubungi
rumah sakit. Hingga tak lama kemudian, datanglah ambulans yang segera membawa
kami berempat ke rumah sakit.
**
Dika sempat mengalami masa kritis, tapi untunglah Dika
bisa diselamatkan walau telah kehilangan banyak darah. Khrisna sudah mulai
pulih dan memar pada wajah Dino sudah mulai menghilang.
Aku menceritakan semua kejadian mengerikan itu pada
April. “Alhamdulillah, kalian masih bisa selamat.” selalu itu yang diucapkan
oleh April pada kami.
Akhirnya, uang yang telah berhasil kami kumpulkan
dimasukkan ke dalam dana perpisahan. Ternyata dari uang yang telah kami
kumpulkan, masih ada sisa. Kami pun menyumbangkan uang itu untuk pengobatan
Dika.
**
Hari ini adalah hari ulang tahunku, aku masih cukup
bersedih karena Dika belum bisa masuk sekolah. Walaupun Dino dan Khrisna sudah
bersekolah kembali.
Tiba-tiba pada jam pulang sekolah, aku diajak oleh
Khrisna dan Dino untuk ke kantin. Ternyata disana teman-teman sekelas sudah
menunggu, mereka merayakan ulang tahuku bersama-sama. Belum lagi, tiba-tiba
teman-teman memberi kado. Yaitu gitar baru, meskipun gitar biasa. Tapi, aku
senang sekali dan merasa terharu. Teman-temanku baik sekali. Aku beruntung
memiliki teman seperti mereka.
“Terima kasih ya! Aku senang sekali bisa dapat gitar
baru. Aku berjanji akan membuat lagu untuk kalian semua! Aku akan
menyanyikannya saat perpisahan nanti.” ucapku.
**
Setelah Dika sembuh dan semua kembali normal, kami
pun mengadakan acara perpisahan itu. Acara berlangsung ramai dan lancar. Aku,
Dika, Dino, April dan Khrisna tampil membawakan lagu buatanku dengan aransir
musik buatan kami semua.
**
“Kiki? Kamu kenapa nangis?” aku baru sadar, sejak
tadi aku teringat akan kejadian waktu itu.
“Oh, Dika? Nggak apa-apa kok! Ayo kita teruskan
latihannya!”
“Kamu yakin nggak apa-apa?” tanya April cemas.
“Nggak apa-apa kok! Hanya teringat pada gitar
kenangan itu!”